Jumat, 15 April 2011

PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM

PENGERTIAN, KEDUDUKAN dan KOMPONEN-KOMPONEN
KURIKULUM


A.    Pengertian Kurikulum
Kurikulum (curriculum) dalam bahasa Yunani Kuno berasal dari kata Curir  yang artinya pelari; dan Curere yang artinya tempat berpacu, selain itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh pelari.
Perkataan kurikulum dikenal sebagi suatu istilah  dalam dunia pendidikan sejak kurang lebih satu abad yang lalu. Perkataan ini belum terdapat dalam kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamus tahun 1856. artinya pada waktu itu adalah:
1.   a race course; a place for running
2.  a course in general; applied particularly to the course of study to a university           Penggunaan kata “kurikulum” semula hanya digunakan dalam bidang olah raga kemudian berkembang dan dipakai dalam bidang pendidikan yakni sejumlah mata kuliah di perguruan tinggi.
Di Indonesia istilah kurikulum bisa dikatakan mulai menjadi popular sejak tahun lima puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yang  memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Kini istilah itu telah dikenal oleh orang di luar pendidikan. Sebelumnya, yang lazim digunakan ialah “rencana pelajaran”. Pada hakikatnya kurikulum sama artinya dengan rencana pelajaran. Hilda Taba dalam bukunya Curriculum Development, Theory and Practise mengartikan sebagai  a plan for learning, yakni sesuatu yang  direncanakan untuk pelajaran anak.[1]

Berikut beberapa devinisi kurikulum dari beberapa ahli:       
1.      J. Galen Saylor dan William M. Alexander dalam buku Curriculum Planning for Better Teaching on Learning (1956), menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut ”The curriculum is the sum totals of schools efforts to influence learning, whether in the class room, on the play ground, or out of school.” Jadi segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruang kelas, di halaman sekolah, atau di luar sekolah termasuk kurikulum. Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan ekstra kulikuler.
2.      Harold B. Albertycs, dalam Reorganizing the High School Curriculum (1965) memandang kurikulum sebagai ”all of the activities that are provided for student by the school”.
3.      B. Othanel smith, W. O. Stanley dan J. Harlan Shores memandang kurikulum sebagai ”a asequence of potential experiences set up in the school for the purpose of disciplining children and youth in group ways of thinking and acting”. Mereka melihat sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berpikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
4.      William B. Ragan, dalam buku Modern Elementary Curriculum (1966), menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut : The tendency in recent decades has been to use the term in a broader sense to refer to the whole life and program of the school. The term is used…to include all the experiences of children for which the school accepts responsibility. It denotes the results of efferorts on the part of the adults of the children the finest, most whole some influences that exist in the culture. Ragan menggunakan arti kurikulum dalam arti yang luas , yang meliputi seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak dibawah tanggung jawab sekolah. Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas. Jadi hubugan social antara guru dan murid, metode mengajar, cara mengevaluasi termasuk kurikulum.
5.      J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam buku Secondary School Improvement. Menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tanaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervise dan administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran. Ketiga aspek pokok, program, manusia dan fasilitas sangat erat hubungannya, sehingga tak mungkin diadakan perbaikan kalau tidak diperhatikan ketiga-tiganya.
6.      Alice Miel, dalam bukunya Changing the curriculum: a social process (1946), Ia mengemukakan bahwa kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinanpengetahuan dan sikap orang-orang melayani dan dilayani sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para pendidik dan personalia.
7.      Edward A. Krug dalam The secondary school curriculum (1960) menunjukkan pendirian yang terbatas tapi realitas tentang kurikulum. Definisinya adalah ”A curriculum consists of the means used to achieve or carry out given purpose of schooling”. Kurikulum dilihatnya sebagai cara-cara dan usaha untuk mencapai tujuan persekolahan. Selain itu Krug juga membatasi kurikulum pada:
a.       Organized classroom instruction, yaitu pengajaran didalam kelas;
b.      Kegiatan-kegiatan tertentu diluar pengajaran itu, seperti bimbingan dan penyuluhan, kegiatan pengabdian masyarakat, pengalaman kerja yang bertalian dengan pelajaran, dan perkemahan sekolah.
8.      UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 19: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, tambahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Berikut ini beberapa penggolongan yang didapat dari berbagai devinisi tentang kurikulum:
1.      kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para pengembang kurikulum, biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya dituangkan dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum yang misalnya berisi sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan.
2.      kurikulum dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya. Ini dapat berupa mengajarkan beberapa mata pelajaran tetapi dapat pula meliputi segala kegiatan yang dianggap dapat mempengaruhi perkembangan siswa misalnya perkumpulan sekolah, pertandingan, pramuka dan lain-lain.
3.      kurikulum juga dapat dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu. Apa yang diharapkan akan dipelajari  tidak selalu sama dengan apa yang benar-benar dipelajari.
4.      kurikulum sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan diatas berkenaan dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini apa yang secara actual menjadi kenyataan pada tiap siswa. Ada kemungkinan bahwa apa yang diwujudkan pada diri anak berbeda dengan apa yang diharapakan menurut rencana.
B. Kedudukan Kurikulum
            Kurikulum memiliki kedudukan yang penting dalam dunia pendidikan. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan antara teori-teori pendidikan yang berkembang dengan konsep-konsep kurikulum  yang dikembangkan.
            Seiring perkembangan masyarakat modern, pendidikan lebih banyak diselenggarakan secara formal terutama di sekolah-sekolah, hal ini karena sekolah mempunyai kelebihan yaitu keluasan untuk memberikan isi pendidikan yang tidak hanya nilai-nilai moral yang diajarkan tetapi juga mengenai perkembangan teknologi dan kehidupan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan yang lebih luas dan lebih mendalam dibandinkan keluarga.
            Berkembangnya pendidikan formal dalam bentuk lembaga pendidikan sekolah menuntut adanya kurikulum yang dirancang dan dikembangkan secara tertulis dan pada akhirnya kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahakan dari kegiatan pendidikan khususnya pendidikan formal di sekolah. Dengan adanya kurikulum maka guru maupun siswa memiliki arah dan pedoman untuk melakukan kegiatan pendidikan, pengajaran dan pembelajaran di lembaga pendidikan di sekolah, mulai dari materi pelajaran yang harus diberikan, program dan rencana pembelajaran yang harus dibuat, kegiatan dan pengalaman belajar yang harus dilakukan dan penilaian terhadap pendidikan yang telah dilaksanakan dalam bentuk hasil belajar yang dicapai oleh siswa.[2]

C. Komponen-Komponen Kurikulum
            Kurikulum merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan, oleh karena itu, kurikulum mempunyai komponen-komponen yang saling  berkaitan sebagai berikut:
  1. Tujuan                                                                                                                         Seperti telah disebutkan di atas bahwa kurikulum merupakan  suatu program yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Maka tujuan itulah yang dijadikan acuan dalam melaksanakan kegiatan pendidikan. Tujuan yang berlaku pada suatu Negara pada dasarnya merupakan tujuan pendidikan nasional yang hendak dicapai oleh suatu Negara. Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa: :Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
Sementara itu terkait dengan tujuan pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung pada dasarnya adalah tujuan hidup manusia itu sendiri, sebagaimana tersirat dalam QS. Adz Dzaariyaat: 56                 
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Tujuan kurikulum biasanya terdiri atas tiga tingkatan, yaitu[3]:
a.       Tujuan jangka panjang
Tujuan ini menggambarkan  tujuan hidup yang diharapkan serta didasarkan pada nilai yang diambil dari filsafat. Tujuan ini tidak berhubungan langsung dengan tujuan sekolah, melainkan sebagai target setelah anak didik menyelesaikan sekolah, seperti: self realization, ethical character, civic responsibility.
b.      Tujuan jangka menengah
Tujuan ini merujuk pada tujuan sekolah yang berdasarkan pada jenjangnya, misalnya sekolah SD, SMP, SMA dan lain-lain.
c.       Tujuan jangka pendek
Tujuan yang dikhususkan pada pembelajara di kelas, misalnya: siswa dapat mengerjakan perkalian dengan benar, siswa dapat mempraktekan sholat dan lain sebagainya.
                  Dalam sebuah kurikulum lembaga pendidikan terdapat dua tujuan, yaitu:
a.       Tujuan yang dicapai secara keseluruhan.
Tujuan ini biasanya meliputi aspek-aspek pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), sikap (afektif) dan nilai-nilai yang diharapkan dapat dimiliki oleh para lulusan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Hal tersebut juga disebut tujuan lembaga (institusional).
b.      Tujuan yang ingin dicapai oleh setiap bidang studi
Tujuan ini biasanya disebut dengan tujuan kulikuler. Tujuan ini adalah penjabaran tujuan institusional yang meliputi tujuan kurikulum dan instruksi yang terdapat pada GBPP (Garis-Garis Besar Program Pengajaran) tiap bidang studi.
                 
  1. Materi Kurikulum/ Bahan Ajar
Materi kurikulum merupakan bahan ajar atau bahan kajian dalam bentuk mata pelajaran. Dalam materi kurikulum terdapat aspek-aspek: teori, konsep, generalisasi, prosedur, fakta, istilah, contoh dan ilustrasi.
Penyajian materi kurikulum harus memperhatikanprinsip-prinsip: berdasarka urutan waktu (kronologis), berdasarkan urutan sebab-akibat (kausal), berdasarkan urutan bahan ajar (struktural), dari bagian menuju keseluruhan dan dari sederhana kepada yang kompleks (logis), dari keseluruhan kepada bagian, dari yang kompleks kepada yang sederhana (psikologis), dari topic ke pokok bahasan atau sebaliknya dari pokok bahasan ke topic yang bisa diperdalam dan diperluas (spiral).[4]
Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan isi kurikulum sebelum dibakukan adalah sebagai berikut:
    1. Kebermaknaan (signifikasi)
    2. Manfaat atau kegunaan
    3. Pengembangan manusia
  1. Strategi Mengajar
Strategi merujuk pada pendekatan dan metode serta perlatan mengajar yang digunakan dalam pengajaran. Tetapi pada hakikatnya strategi pengajaran tidak hanya terbatas pada hal itu saja. Pembicaraan strategi pengajaran tergambar dari cara yang ditempuh dalam melaksanakan pengajaran, mengadakan penilaian, pelaksanaan bimbingan dan pengaturan kegiatan baik yang secara umum brlaku maupun yang bersifat khusus dalam pengajaran.[5]
  1. Proses Belajar Mengajar[6]
Komponen ini sangat penting dalam sistem pengajaran, sebab diharapkanmelalui proses belajar mengajar akan terjadi perubahan-perubahan perilaku pada diri peserta didik. Keberhasilan pelaksanaan proses belajar mengajar merupakan indicator keberhasilan pelaksanaan kurikulum. Kemampuan guru menciptakan suasana pengajaran yang kondusif, merupakan indicator kretivitas dan efektifitas guru dalam mengajar. Dan hal tersebut bisa dicapai bila guru dapat:
    1. Memusatkan pada kepribadiannya dalam mengajar
    2. Menerapkan metode mengajarnya
    3. Memusatkan pada proses dan produknya
    4. Memusatkan pada kompetensi yang relevan
           
5.   Media Mengajar
            Media yang dipergunakan dalam mengajar atau sering disebut juga dengan media pembelajaran. Menurut tim LPM DKI Jakarta: media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan atau inormasi dalam mengajar mengajar sehingga dapat merangsang perhatian dan minat siswa dalam belajar.
            Dengan demikian media pengajaran adalah  alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan pesan-pesan pengajaran dari sumber belajar yaitu guru kepada peserta didik yaitu siswa agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan efektif dan efisien.[7]

6.   Evaluasi Pengajaran
            Dari arti luas, evaluasi adalah prosesmerencanakan, memperoleh dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan serta merupakan proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan arau segala sesuatu yang ada hubungannya dengan dunia pendidikan. Evaluasi juga dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan-tujuan yang terdapat dalam kurikulum sudah tercapai.evaluasi pengajaran ditujukan untuk mengetahui keberhasilan mengajar yang dilakukan guru serta keberhasilan siswa dalam melakukan aktivitas belajar serta keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan.[8]

7.   Penyempurnaan Pengajaran
Penyempurnaan Pengajaran dapat dilakukan setelah melihat hasil yang dicapai dalam kegiatan belajar mengajar setelah dilakukan penilaian. Penyempurnaan pengajaran mulai dari strategi pengajaran , model dan pendekatan pengajaran yang digunakan, metode dan teknik yang digunakan untuk pemenfaatan, alat media dan sumber belajar.[9]



DAFTAR   PUSTAKA


Abulraihan. 12 Mei 2008. Komponen-Komponen Kurikulum Pendidikan. Available [online]:<http://abulraihan.wordpress.com/2008/05/12...>28 Februari 2010.
Khoiron, Ahmad. 19 Januari 2007. Komponen Kurikulum dan Prosedur pengembangan Kurikulum. Available[online]:<http://koir.multiply.com/../kurikulum>28 Februari 2010.
Nasution, S. 2005. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Syah, Darwyn et.al. 2007. Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Gaung Persada Press.



[1] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 2.
[2] Darwyn Syah et.al., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 14.
[3] Ahmad khoiron, Komponen Kurikulum dan Prosedur pengembangan Kurikulum (Available[online]: <http://koir.multiply.com/../kurikulum>19 Januari 2007),  28 Februari 2010.
[4] Darwyn Syah, op. cit., h. 15.
[5] Ahmad Khoiron, loc. cit.
[6] ibid
[7] Darwyn Syah, op. cit., h. 16
[8] ibid
[9] ibid

Paradigma Dalam Globalisasi dan Perbenturan Peradaban


PENDAHULUAN


“DAsAR cOMeLLLL…..!!”
“PENGHIANAT…..!!!”
“bAnyaK tingkah….!!!”
Tika memandangi tulisan-tulisan di papan tulis itu. Matanya mulai berkaca. Ia merasakan dadanya begitu sesak seolah ada sebuah truk yang menghimpit tubuhnya. Tika memandang sekeliling. Terlihat wajah-wajah sinis dan dingin memandangnya, disertai cibiran-cibiran yang walau samar ketajamannya mampu menusuk menciptakan secercah luka dihatinya. Ia pun teringat peristiwa kemarin. Saat itu Tika sedang berada di dalam kelas yang riuh oleh para siswa yang tengah bersuka cita karena guru mata pelajaran pada jam tersebut tidak dapat hadir untuk mengajar. Ada yang mengobrol, ada yang sms-an, bahkan ada sekelompok temannya yang merokok. Dan siswa yang merokok itu tepat disamping Tika. Tika merasa tidak nyaman dengan keadaan itu.
“Hey.. jangan merokok disini dong..! aku nggak kuat bau!” kata Tika sambil terbatuk-batuk.
“Ahhh… Cerewet lu, Tik! Biarin aja kali mumpung ga ada guru.” Kata salah seorang dari mereka.
Tika kesal, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ini bukan kali pertama teman-temannya merokok di dalam kelas. Dalam hatinya berkecamuk, haruskah ia bertoleransi dalam hal ini atau mungkin sebaliknya, melaporkan kejadian ini pada wali kelas. Lama ia merenung, akhirnya ia pun memutuskan untuk memberitahu wali kelas sepulang sekolah.  Keesokan harinya wali kelas memanggil teman-temannya yang merokok itu. Dan bisa ditebak wali kelas beserta kesiswaan menegur mereka.
Tiba-tiba Tika pun tersadar dari lamunannya. Ia merasa heran kenapa teman-temannya yang perempuan pun ikut marah dan kesal serta menilai Tika sebagai penghianat dan orang yang comel. padahal wali kelas hanya menegur segelintir temannya yang merokok saja, apakah yang dilakukan Tika salah?
Cerita di atas adalah sepenggal kisah yang mencerminkan adanya pergeseran nilai yang ada di masyarakat. Perbedaan cara pandang tersebut agaknya menjadi satu hal yang menjiwai kisah ini, yaitu cara pandang yang digunakan Tika berbeda dengan cara pandang yang dipakai oleh teman-temannya.
Disini juga terlihat bahwa orang yang berbeda dalam menyikapi suatu persoalan ternyata akan memberikan respon yang berbeda pula. Cara pandang inilah yang biasa disebut paradigma.

MANUSIA DAN KEHIDUPAN
M
anusia adalah makhluk yang unik. Penciptaannya yang khusus menjadikannya sebagai makhluk yang spesial dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kekhususan yang dimiliki manusia ialah akal. Dengan kesempurnaan penciptaan akal, manusia bisa menjadi sesuatu yang berbeda antara satu dengan yang lain. Bahkan dalam satu diri manusia saja, bisa terdiri dari berbagai macam sisi dan fungsi. Disatu sisi manusia bisa menjadi makhluk pribadi, tapi di saat bersamaan manusia pun bisa menjadi makhluk sosial.
            Seorang guru yang penuh komitmen dan tanggung jawab belum tentu mempunyai anak yang sama seperti dirinya. Bisa dikatakan, dalam perkembangannya, manusia tidak hanya ditentukan oleh faktor endogen saja, tetapi masih ada faktor lain yang membentuk manusia itu sendiri, salah satunya adalah lingkungan.
            Faktor endogen sendiri adalah faktor atau sifat yang dibawa oleh individu sejak dalam kandungan hingga melahirkan.[1] Dapat diartikan pula sebagai faktor keturunan atau faktor pembawaan. Sedang dalam perkembangan selanjutnya, manusia sangat dipengaruhi oleh faktor eksogen.
Faktor eksogen merupakan faktor yang datang dari luar individu, yang merupakan pengalaman-pengalaman, alam sekitar, pendidikan dan sebagainya.[2] Faktor lingkungan dengan faktor pendidikan sebenarnya berbeda. Faktor lingkungan pada umumnya lebih cenderung pasif, dikatakan demikian karena lingkungan lebih memberikan kesempatan-kesempatan kepada individu dibanding paksaan. Hal ini memungkinkan individu untuk memilih dan mengambil manfaat dari lingkungan tergantung pada individu yang bersangkutan. Ini tentu berbeda dengan faktor pendidikan. Pendidikan dijalankan dengan penuh kesadaran dan sistematik untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri individu. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai suatu sasaran atau tujuan tertentu yang dilakukan secara terprogram dan penuh tanggung jawab. Dengan kata lain pendidikan bersifat aktif.
Dalam kenyataan bisa kita lihat, meski faktor lingkungan tidak bersifat memaksa, namun tidak bisa dipungkiri peran lingkungan sangat besar dalam perkembangan individu.
Lingkungan bisa dibedakan menjadi dua, pertama lingkungan fisik yaitu lingkungan alam. Sebagai contoh, pengaruh kehidupan individu di daerah pegunungan dengan di daerah pantai tentu akan berbeda. Yang kedua lingkungan sosial[3] yaitu lingkungan masyarakat yang akan memberikan pengaruh dari adanya interaksi antar individu.
Skema Pengaruh Dalam Individu

Sebagai contoh, ada seorang teman saya yang bekerja di sebuah pabrik otomotif. Sebut saja Ayu. Ayu sangat bersemangat dalam bekerja. Hal ini bisa dilihat sejak bel tanda mulai bekerja belum berbunyi, ia sudah mulai mempersiapkan segala sesuatunya yang mungkin akan diperlukan ketika mulai produksi, sehingga ketika bel berbunyi ia bisa langsung melakukan produksi. Ini tentu sangat berbeda dengan teman lainnya yang baru akan memulai persiapan ketika bel berbunyi. Hal ini mengusik rasa penasaran saya, mengapa dia bisa sesemangat itu dalam bekerja. Ketika hal itu saya tanyakan kepadanya, ia menjawab bahwa ia sangat bersungguh-sungguh dalam bekerja dan berusaha sebisa mungkin untuk bertahan di pekerjaan ini, karena ia menyadari sepenuhnya bahwa ia adalah tulang punggung keluarga. Ia memahami keadaan ayah dan ibunya yang sudah tidak mungkin bekerja berat, sementara tiga adiknya yang masih sekolah juga memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk dapat terus mengenyam bangku pendidikan. Dari cerita Ayu ini dapat kita lihat begitu besarnya pengaruh lingkungan sosial primer, bahkan lingkungan sosial primer bisa membentuk pola pemikiran yang menghasilkan tindakan atau respon individu dalam menghadapi persoalan.   
MANUSIA DAN PARADIGMA
D
alam Kamus Ilmiah Populer disebutkan bahwa paradigma adalah ”Model dalam teori ilmu pengetahuan; kerangka berpikir[4]”.Paradigma diibaratkan sebuah jendela  kaca tempat kita melihat persoalan. Jika jendela kaca kita terpasang dengan benar, selalu dirawat dan terjaga kebersihannya tentu apa yang kita lihat diluar sana akan berbeda dengan apa yang kita lihat melalui kaca yang kotor dan tebal oleh debu.
Seperti yang telah kita bahas sebelumnya bahwa dalam perkembangannya, manusia  dipengaruhi berbagai hal. Pengaruh-pengaruh inilah yang kemudian membentuk kerangka berpikir atau pola pemikiran pada manusia. Tidak jarang kerangka berpikir yang terbentuk justru semakin menjauhi etika moral sebelumnya atau bahkan terjadinya degradasi moralitas.
Manusia memang tidak akan terlepas dari lingkup paradigma, karena pardigmalah yang selama ini menyertai manusia dalam mengambil setiap keputusan maupun merespon segala kejadian yang terjadi di sekitarnya.
Jika kita menoleh pada sejarah, kita akan melihat beberapa aliran pemikiran yang saling berbeda, salah satunya aliran pemikiran kalam. Kemunculan aliran kalam  konon dipicu dari perseteruan politik. Kemunculan ini diawali dengan peristiwa tahkim yang terjadi pada saat perseteruan antara pemerintahan Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah, sebagian keluar dari barisan Ali, dan kelompok yang keluar inilah yang kemudian disebut kelompok Khawarij. Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah dan orang-orang yang terlibat serta mendukung arbitrase (tahkim) adalah kafir, mereka dianggap demikian karena Khawarij menilai orang-orang yang terlibat dalam arbitrase lebih mengutamakan keputusan manusia dibandingkan hukum Allah dan ini berarti telah kafir, murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh, karena Al-Qur’an mengatakan:
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah.[5]
Aliran kedua yaitu Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.[6]
Aliran ketiga yaitu Mu’tazilah yang berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukan kafir dan juga bukan mukmin, tapi berada diantara dua posisi tersebut atau yang lebih dikenal dengan almanzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Dari tiga aliran ini saja, kita bisa melihat perbedaan kerangka berpikir, yang tentu saja akan berpengaruh juga terhadap reaksi yang ditampilkan sebagai perwujudan dari paradigmanya.

AGAMA, GLOBALISASI & ISLAM
K
ehidupan manusia tidak pernah terlepas dari aturan atau tata nilai yang menyertainya. Salah satu tata nilai itu adalah agama.
Agama sebagai sebuah ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Agama diturunkan guna memberikan aturan-aturan hidup yang akan membawa kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Selain itu agama juga dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia.[7]
A.  Agama bentukan Budaya?
Agama sejak lama telah dikenal manusia, bahkan di sebagian besar kalangan antropologi, agama disebut sebagai bagian dari kebudayaan. Ini berarti agama merupakan bentukan budaya.
Edward Norbeck misalnya, mangungkapkan asumsi dasar dari bukunya Religion in Human Life  agama adalah bagian dari kehidupaan manusia yang dikategorikan sebagai supernaturalisme atau agama ”…is man-made and everywhere much alike. As a creation of man, religion is an element of culture, a man-made part of the human universe,…” (supernaturalisme atau agama adalah buatan manusia dan di mana-mana banyak kesamaannya. Sebagai suatu ciptaan manusia, agama adalah bagian dari budaya, bagian ciptaan manusia secara universal).[8]
Untuk meluruskan asumsi di atas kita bisa melihat pendapat Hilman Hadikusuma yang mengungkapkan bahwa ada istilah agama, ada agama budaya, ada kebudayaan agama. Agama adalah ajaran yang diturunkan oleh Tuhan untuk petunjuk bagi umat manusia dalam menjalani kehidupannnya. Sedang agama budaya adalah petunjuk hidup yang berasal dari pemikiran dan kebudayaan manusia. Ada pula kebudayaan agama adalah hasil kreasi manusia  beragama, seperti tafsir Al-Qur’an, kaligrafi dan lainnya.[9]
B. Paradigma dalam Globalisasi
Globalisasi menjadikan bumi ini layaknya sebuah desa global (global village), di mana jarak antarnegara sudah tidak berarti. Batas-batas antarnegara sudah diabaikan. Hal ini menyebabkan ketergantungan antarbangsa, bahkan penguasaan satu bangsa atas bangsa lain.[10]
 Globalisasi dipahami sebagai pembentukan selera warga masyarakat secara global/mendunia yang juga turut kita nikmati saat ini. Pengertian lain globalisasi adalah dominasi komersial dan pengawasan atas sistem finansial dalam hubungan antar-negara, inilah yang sekarang menentukan sekali tata hubungan antara negara-negara yang ada.[11]
Pada dua dekade terkahir ini, globalisasi menyebabkan ketimpangan yang cukup besar antara negara pemilik modal dengan negara Dunia Ketiga. Di negara Dunia Ketiga, kemiskinan semakin meningkat dan kesejahteraan semakin sulit tercapai. Bukan hanya masalah ekonomi saja, tetapi telah meluas ke masalah sosial, politik, dan budaya. Sebaliknya, negara maju (pemilik modal) semakin kaya dan berkuasa. Mereka mempunyai power untuk mengeksploitasi negara Dunia Ketiga.[12]
Sekilas dari penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa globalisasi juga memberikan banyak tantangan bagi manusia. Jika dilihat dalam lingkup Indonesia, kita akan mendapati beberapa keuntungan dan juga kerugian yang diperoleh dari globalisasi ini.
Dari segi keuntungan atau kelebihan bisa disaksikan kemajuan era teknologi dan informasi yang begitu pesat memberikan begitu banyak manfaat bagi kita. Namun dibalik keuntungan tersebut terselip kekurangan yang tidak sedikit, seperti semakin pesatnya perkembangan ekspansi kapital, ekspansi investasi, proses produksi dan proses pemasaran global. Hal ini tidak jarang menjadikan masyarakat Indonesia sebagai buruh atau bekerja di rumahnya sendiri (Indonesia).
Sejalan dengan globalisasi tersebut pergeseran dan pembentukan paradigma baru mulai terlihat. Masyarakat mulai terbuai dengan teknologi dan cenderung menjadi konsumtif. Seperti contoh, seorang anak SMP akan merasa sangat bangga dengan memakai handphone pintar sekelas Bl***Be***, ketimbang berusaha membuat perangkat elektronik buatannya sendiri.
Segala sesuatu mulai dipandang dan harus didapatkan secara instan, dengan melewatkan satu langkah penting yang seharusnya dilalui yaitu proses.Tidak bisa dipungkiri kerangka berfikir inilah yang menjadi pembentuk pribadi-pribadi instan yang hampir 100% mengabaikan pentingnya suatu proses.
Dari kerangka berpikir instan ini, pergeseran nilai mulai terbentuk. Segala sesuatu dilakukan untuk mendapatkan hasil secara instan, tanpa memperdulikan nilai-nilai yang dahulu menjadi titik acuan dan garis pembatas, bahkan tidak peduli apakah jalan yang ditempuh akan merugikan orang lain atau tidak. Singkat kata segala sesuatu dilakukan tanpa memperdulikan halal-haram asalkan tujuan dan cita-cita bisa tercapai.
Problem diatas masih ditambah lagi dengan “ideologi” yang dianut kapitalisme global yakni kompetisi bebas, efektif, efisien dimana proses di atas hanya bisa dilakukan dengan kesiapan yang telah dibangun lama --dengan tanpa memperhitungkan nilai kemanusiaan sebab pasar dan uang telah menjadi tuhan sekaligus berhala; sekaligus sesuatu hal yang telah direncanakan pihak dunia pertama semenjak lama tanpa melibatkan pemeran-pemeran lainnya, sehingga upaya mengejar ketinggalan hanyalah sekedar basa-basi.[13]
Proses globalisasi ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan nilai-nilai agama. Realitas ini mendapat respon yang cukup beragam dari kalangan pemikir dan aktivis agama. Agama sebagai sebuah pandangan yang terdiri dari berbagai doktrin dan nilai memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat. Hal ini diakui oleh para pemikir, antara lain Robert N. Bellah dan Jose Casanova, mereka mengakui pentingnya peran agama dalam kehidupan sosial politik masyarakat dunia. Dalam konteks ini agama memainkan peranan yang penting di dalam proses globalisasi. Agama bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu komponen penting yang cukup berpengaruh di dalam berbagai proses globalisasi.[14]
C. Paradigma dalam Islam
Agama pada era kini telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan awal kemunculannya. Perubahan nonlinier ini kemudian membentuk beragam kategori. Namun, secara general kualifikasinya hanya menjadi dua bentuk yang sekarang ada dalam umat Islam. Perspektif ini hampir berlaku pada setiap agama. Demikian pula dengan Islam yang berdiri di atas tiga pilar doktrin dasarnya (tauhid, syariat, dan akhlak), dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya.[15]
1.  Konservatif
Paradigma pertama, Islam diasumsikan sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini dianggap sebagai bagian yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasannya telah memberikan ukuran dan solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan. Demikian pula dalam bidang syariat yang menjadi pusat kajian hukumnya. Aspek hukum yang telah ada dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi final untuk dijadikan acuan hukumnya. Alasannya, hukum tersebut murni bersumber dari Alquran dan Alhadis. Oleh karenannya, tidak ada yang perlu disempurnakan lagi. Realitas sosial politik yang menandai kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris tak mendapatkan tempat kajian yang mendalam.[16]
Dalam kategori sosilogis Islam seperti di atas, menurut Dr. Ali Syariati (1933-1977), Islam hanya menjadi kumpulan-kumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan suatu semangat kolektif suatu kelompoknya. Ia berisi kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktik-praktik dari suatu masyarakat yang telah mapan, berlangsung dari generasi ke generasi. Kebiassaan inilah yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk melegitimasi kekuasaan. Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam pemaknaan ajaran agama maka paradigma ini disebut konservatif.[17]
2.  Liberalis
Paradigma kedua, Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan menjadi agen perubahan sosial. Dalam pandangan itu, Islam bukanlah sekadar kumpulan ritus-ritus di atas, melainkan membentuk karakter sosial yang objektif/ilmiah. Hal ini sudah menjadi pengakuan luas seperti yang dikatakan Dr. Kuntowijoyo, “Objektivitas itu berupa adanya pengakuan akan pluralisme dalam agama, kebudayaan, bahasa, dan warna kulit. Tradisi keilmuan ini bermaksud mempertemukan agama-agama dengan menunjukkan moralitasnya yang objektif. Dalam pemikiran agama, periode ini menghendaki supaya Islam juga semakin objektif ke luar dan ke dalam.” (Republika, Agustus 2001). Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berkebalikan dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, mereka justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kulturan dan struktural. [18]
Dalam dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum Islam dari aspek nilai/substansi bukan tekstual kitab kitab Islam lama yang di mapankan oleh kalangan konservatif. Alquran dan Hadis harus ditafsir ulang dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praksis sosialnya. Karena pengaruh wacana ilmu positivis inilah dimensi akhlaknya tidak hanya sekadar berkaitan dengan persoalan etik religius yang tidak membumi melainkan menyentuh persoalan keadilan sosial. Karena paradigma ini mengambil sikap terbuka terhadap semua wacana keilmuan, disebutlah paradigma liberal. Dua paradigma di atas sesungguhnya telah menjadi bagian internal Islam di Indonesia. Paradigma pertama biasanya mengakar pada kalangan kelas bawah yang belum sepenuhnya tersentuh oleh tradisi keilmuan positivisme seperti di pesantren atau berakar kuat di kalangan ormas politik yang tidak berkepentingan pada perubahan (status quo). Sementara paradigma liberal lahir dari rahin generasi muda yang cukup paham terhadap wacana Islam. Namun, juga tersentuh oleh tradisi positivisme serta memiliki motifasi kuat untuk perubahan sosial. Namun, apakah perkembangan paradigma Islam ini akan hanya berhenti di sini? Inilah sesungguhnya yang harus kita kaji secara mendalam. Yang harus diingat adalah bahwa perubahan kajian ijtihad tersebut berlandaskan aspek perubahan sosial dan mengembalikan semangat pembelaan Islam terhadap umat manusia. Oleh karena itu, pilihan baru harus segera diadakan sebab situasi kekinian telah mengubah transformasi sosial dengan adanya globalisasi.[19]
3.  Islam ideologis
Jika Islam konservatif lahir dan hanya relevan berada dalam kondisi masyarakat agraris tradisional dan Islam liberal berada dalam situasi sosial industrial, apakah saat ini globalisasi (kapitalisme neoliberal) cukup disiasati dengan wacana liberal? Karena persoalannya adalah perubahan sosial, maka wacana Islam liberal harus diarahkan pada persoalan konkret situasi kontemporer saat ini. Kapitalisme global sebagai persoalan utama setidaknya telah menuntut perangkat sistem yang memihak kaum tertindas. Eksploitasi ekonomi melalui jalan ekspansi modal kenegara-negara berkembang yang terkena imbas krisis dengan kedok memberikan donor lewat IMF dan Bank Dunia adalah persoalan urgen yang menuntut perangkat sistem untuk menghentikan keserakahan kapitalisme baru itu. Isyarat Alquran, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara segelintir orang-orang kaya (pemodal) saja di antara kamu sekalian.” (Q.S. Alhasyr:7) telah menegaskan bahwa pembelaan terhadap upaya menciptakan keadilan ekonomi menjadi kebutuhan saat ini. Oleh karena itu, kebutuhan melakukan pembaruan wacana di kalangan umat Islam tidak boleh berhenti sebatas pembebasan pemikiran seperti yang dilakukan Jaringan Islam Liberal, melainkan harus bertendensi pada praksis sosial.[20]
Lantas, bagaimana menyingkapai hal ini? Karena konteks persoalannya adalah kepentingan perubahan serta pembelaan sikap, mengambil wacana dari luar Islam bukanlah hal yang tabu dan terlarang. Islam dalam rangka menegakkan prinsip awalnya didasarkan nilai dan subtansial semangat perubahan, maka bukan suatu kenaifan bila mengambil sosialisme demokratik sebagai alternatif pembelaan terhadap kapitalisme neoliberal. Kenapa sosialisme demokratik? Alasannya, ideologi ini walaupun dianggap bangkrut pada tahun 1980-an, namun sesungguhnya masih meyimpan paradigma ekonomi politik yang komprehensif dalam rangka melakukan perlawanan terhadap kapitalisme dibanding dengan ideologi lainnya. Namun, apakah Islam tidak cukup memiliki basis ideologis untuk mengimbangi kapitalisme? Memang, Islam telah lengkap dan komprehensif. Namun, “kesempurnaan” Islam hanyalah sebatas dalam tataran teoretis. Pada tataran praksisnya — terutama ketika era globalisasi bergerak — Islam belumlah cukup memiliki konsepsi final dan pengalaman praktik perjuangan melawan hegemoni kapitalisme. Memang, Islam pada dasarnya adalah Islam. Tidak terkait dengan ideologi dan ajaran lain. Namun, dengan menyebut sosialisme-Islam justru kita sedang membenarkan kesejatian Islam yang memihak kaum tertindas.[21]

PERBENTURAN PERADABAN
ISLAM
       
Selepas pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidin, terjadi perebutan kekuasaan. Bahkan pemerintahan Ali bin Abi Thalib berakhir dengan cara tahkim yang disinyalir penuh tipu muslihat. Dari peristiwa tahkim tersebut mulai lahir aliran-aliran kalam, tiga diantara telah disebutkan pada bab sebelumnya yaitu Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah. Selain aliran tersebut masih ada aliran lainnya yaitu Qadariyah, Jabariyah dan Ahli sunnah wal jama’ah.
A. Khawarij
Pada masa sesudah arbitrase Khawarij menganggap Ali, Muawiyyah dan orang-orang yang terlibat dalam arbitrase adalah kafir. Oleh karena itu, Khawarij selalu melakukan perlawanan-perlawanan terhadap pemerintahan sesudah arbitrase karena dianggap telah menyeleweng dari ajaran Islam. Di sini bukan lagi permasalahan politik tapi telah masuk pada ranah teologi.
Kerangka berpikir kaum Khawarij tidak semata-mata terbentuk dengan sendirinya, tetapi melalui proses dan berbagai faktor. Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupan mereka di padang pasir yang tandus membentuk sifat sederhana dalam cara hidup dan pemikirannya, tetapi keras hati serta berani dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain.  
Perubahan agama tidak membawa perubahan terhadap sifat dasar mereka yang telah lama terbentuk. Mereka tetap keras hati serta bengis dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist, mereka artikan sesuai lafadznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran dan sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sifat fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil. Kerangka berfikir inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya benturan-benturan dengan paham lainnya. [22]

B. Murji’ah
Dalam suasana pertentangan yaitu masa sesudah tahkim, timbul suatu golongan baru yang ingin bersifat netral dan tidak mau ikut dalam permasalahan kafir-mengkafirkan yang terjadi antar golongan yang bertentangan. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah, dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di depan Tuhan.[23]
Pemahaman mereka ini menuntun pada pemahaman bahwa perbuatan tidaklah begitu penting, yang paling penting dan utama adalah iman dalam diri seseorang.
c. Mu’tazilah
       Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama ”kaum rasionalis Islam”[24].
            Kemunculan Mu’tazilah yang paling menonjol adalah terlihat dari peristiwa diusirnya Wasil bin Atha dari majlis Hasan al-Basri.  Wasil bin Atha adalah tokoh seorang tokoh yang dikenal dengan paham Mu’tazilahnya. Menurut al-Baghdadi, wasil dan temannya ‘Amr bin Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar.[25]
d. Qadariyah
            Qadariyah adalah paham yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentuka perjalanan hidupnya. Menurut paham Qadariyah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam bahasa Inggrisnya paham ini dikenal sebagai free will dan free act.
            Dalil-dalil yang banyak digunakan oleh Qadariyah adalah:
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS. Ar-Ra’d:11)
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran: 164)
e. Jabariyah
Masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh paham jabariyah ini. Bangsa Arab yang pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup dengan suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik dan gunungnya yang gundul.. dalam dunia yang demikian mereka tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membuat mereka pada sikap fatalistis.[26]
Adapun dalil yang dijadikan sandaran oleh kaum jabariyah adalah:
 Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (Q.S. Al-An’an: 112)
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al-Hadid: 22)
            Kaum Jabariyah berpendapat manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[27]

            Dari beberapa contoh aliran kalam diatas, bisa dilihat perbedaan-perbedaan dalam kerangka berfikir aliran-aliran tersebut. Aliran-aliran tersebut tidak jarang menjadi sebuah kerangka berfikir pemerintah pada dinasti-dinasti tertentu dalam sejarah Islam.
            Tidak jarang pula paradigma aliran-aliran diatas dijadikan alat oleh para penguasa sebagai pondasi kebertahanan kedudukan politik. Misalnya pada pemerintahan dinasti Umayah, masyarakat dicekoki dengan paham Jabariyah, sehingga mudah dijadikan alat dan diperdaya oleh penguasa.
            Selain dijadikan alat politik, konon masa keemasan yang diraih dinasti Abbasiyah juga dilatarbelakangi berkembangnya paham Mu’tazilah pada saat itu. Paham Mu’tazilah yang lebih mengedepankan akal, mendorong masyarakat pada saat itu untuk terus mengembangkan keilmuan dari berbagai lini kehidupan.
F. Kerangka berpikir Pada Masa Kini
Pada saat ini, aliran-aliran kalam di atas memang sudah tidak ada. Namun jika kita perhatikan, corak kerangka berpikir masyarakat pada saat ini, tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh aliran-aliran kalam tersebut. Dalam arti, corak berfikir aliran-aliran tersebut masih eksis sampai saat ini.
Jika melihat dari sejarah, seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa tidak jarang terjadi gesekan-gesekan, bahkan perbenturan dalam peradaban Islam pada saat itu dikarenakan perbedaan paradigma. Begitu pun pada saat ini, pelabelan kata ‘sesat’, ‘kafir’ dan lain sebagainya begitu mudah diluncurkan dari kelompok yang satu pada kelompok lainnya, sehingga memicu perseteruan yang kadang berujung pada jatuhnya korban jiwa. Selain itu, Hal ini sangat memperlihatkan bahwa kerangka berpikir yang dibangun ternyata akan berpengaruh pada timbulnya perbenturan peradaban.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar antropologi agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006.
Ahmadi, Abu. Psikologi Umum (Cetakan ke-3). Jakarta: Rineka Cipta. 2003.
Catur, Iwan. Paradigma Adalah Jendela Kita Menatap Dunia. 6Augustus 2010. Available [online]:
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI-Press. 1986.
LPM Opini, Resensi buku Globalisasi: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, 20 October 2008. Available [online]http://majalahopini.wordpress.com/2008/10/20/resensi-buku-globalisasi-peluang-atau-ancaman-bagi-indonesia/.. [31 Januari 2011]
Mansur,Faiz. Paradigma Islam Menghadapi Globalisasi, 3 Maret 2003, Available [online]. , [30 Januari 2011]
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press. 2008.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Cetakan ke-18). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2005.
Tafsir, Ahmad. Filasafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan (Cetakan ke-4). Bandung: 2009.
                                    . Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Cetakan ke-16). Bandung:  Remaja Rosda Karya. 2008.
Wahid, Abdurrahman., et al. Islam and Nonviolence. Diterjemahkan oleh M. Taufiq Rahman dengan judul Islam Tanpa Kekerasan (Cetakan ke-2). Yogyakarta: LKis Yogyakarta. 2000.
Yamani. Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam. Bandung: Mizan. 2002.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Ed: 20). Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008.  



[1] Abu Ahmadi, Psikologi Umum (cetakan ke-3), (Jakarta: Rineka Cipta. 2003),  Hlm. 198
[2] Ibid. hlm. 200.
[3]Menurut Abu Ahmadi (2003:201) lingkungan sosial bisa dibedakan menjadi dua, pertama lingkungan sosial primer yaitu lingkungan sosial dimana terdapat hubungan yang erat dan saling mengenal dengan baik antara anggota yang satu dengan anggota yang lain. Oleh karena itu diantara anggota telah ada hubungan yang erat, maka sudah tentu pengaruh dari lingkungan sosial ini akan lebih mendalam bila dibandingkan dengan lingkungan sosial yang hubungannya tidak erat. Yang kedua lingkungan sosial sekunder, yaitu lingkungan sosial yang hubungan antar anggota agak longgar. Pada umumnya anggota satu dengan anggita lain kurang atau tidak saling kenal mengenal. Karena itu, pengaruh lingkungan sosial sekunder akan kurang mendalam bila dibandingkan dengan lingkungan sosial primer.
[4] Mas’ud et. al.,Kamus Ilmiah Populer edisi Lux (Cetakan ke-2), Bintang Pelajar. 1998. Hlm 309.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press. 2008), hlm. 8.
[6] Ibid. Hlm. 9.
[7] Diaz, Islam danTantangan Globalisasi: Berbagai Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi, 22 Februari 2007, Available [online]: <http://diaz2000.multiply.com/journal/item/39/ISLAM_DAN...>  [31Jannuari 2011]
[8] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar antropologi agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006), hlm. 33.
[9] Ibid.
[10] LPM Opini, Resensi buku Globalisasi: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, 20 October 2008. Available [online]http://majalahopini.wordpress.com/2008/10/20/resensi-buku-globalisasi-peluang-atau-ancaman-bagi-indonesia/.. [31 Januari 2011]
[11] Diaz, Loc. Cit.
[12] Op. Cit.
[13] Diaz, Loc. Cit.
[14] Ibid.
[15] Faiz Mansur, Paradigma Islam Menghadapi Globalisasi, 3 Maret 2003, Available [online]. , [30 Januari 2011]
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid,.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Harun Nasution, Loc. Cit., hlm. 15
[23] Ibid. hlm. 24
[24] Ibid. hlm. 40
[25] Ibid.
[26] Ibid. hlm 33-34
[27] Ibid. hlm 33